“Berkali-kali
aku bilang, bahwa aku tak pandai menulis puisi, tapi karena aku mencintai
kekasihku, maka aku akan meminta tolong pada pujangga untuk membuatkan puisi.” Sudah
aku bilang, aku tak lihai merangkai kata-kata indah yang mampu menyayat hati
merah muda kekasihku, jadi aku tak akan pernah mengiriminya surat cinta
dibungkus amplop berwarna pink.”
“Bukannya
kamu pandai merangkau kata hingga para pendengarmu dan pembaca karya-karyamu
begitu terhipnotis setelah mengunyah-ngunyah karya-karyamu?”
“Ia,
tapi aku tak pandai menulis puisi. Aku juga bukan pria yang romantis. Aku tak
biasa memberikan surat dan puisi kepada kekasihku. Aku mencintai mereka apa
adanya. Tak pernah aku berbohong soal hati”, seloroh Gus Tu meyakini Pradnya.
“Tapi
aku akan mengalir ketika kamu memintaku bercerita tentang bendera.”
“Bendera?”
“Ia.
Bendera! Ada yang aneh?”
“Heemmm…tidak,
ceritakan, Gus!”
Gus Tu mulai bercerita.
Ketika itu, Aku sedang berlibur di rumah Nenek di Desa Jepun
Putih. Aku memang sering berlibur di rumah nenek. Ini ku lakukan agar Aku tidak
bosan liburan panjang di rumah. Aku ingin menikmati indah desa dan alam suci
yang belum terkontaminasi. Liburan di rumah Nenek selalu berkesan. Kebisaanku
di sana satiap pagi adalah bangun pagi. Meski sedang liburan Aku tetap bangun
pagi. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari.
Kalau sedang tidak libur, Aku bangun pagi untuk bersiap ke
sekolah. Ini Aku lakukan karena Aku selalu ingat nasehat Nenek, ”Orang yang
rajin bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki. Rezekimu tak akan pernah
dipatok ayam,” pesan Nenek.
Bagiku, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan
pintar. Tipikal orang tua tradisional yang lihai bercerita cerita sederhana penuh
amanat. Aku tak tahu apa makna nasehat Nenek itu, tapi Aku merasa ada benarnya.
Logikaku membenarkannya. Bangun pagi membuat kita tidak terlambat tiba di
sekolah dan otomatis tidak ketinggalan pelajaran. Selain itu, bangun pagi
sungguh menyehatkan.
Hanya pada waktu pagi kita bisa menikmati suasana alam yang
paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat, udara masih bersih, tumbuhan pun
tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah bangun tidur. Aku teringat
liburan bersama ayah ketika kanak-kanak. Pagi-pagi seperti itu biasanya ayah
ditemani secangkir kopi di beranda depan rumah Nenek. Aku ingat persis
peristiwa itu. Di atas meja, di sebelah minuman yang embunnya menetes-netes di
pinggiran cangkir, terbuka sebuah buku. Tangan kirinya yang lentik memberati
lembaran kiri buku itu agar tetap pada halaman yang tengah dibacanya.
Buku. Biasanya ayah membaca koran, jika di rumah. Tapi karena
Nenek tidak berlangganan koran, jadi ayah melahap buku-buku koleksinya yang
memang selalu ia bawa ke mana pun pergi. Tapi kali ini ayah memang tidak ikut
menemaniku berlibur di rumah Nenek. Kebetulan jadwal libur kami tidak sama.
Walau begitu, aku sudah besar, menurutku, dan bisa menikmati libur sendiri,
pikirku.
Embun-embun mulai terbangun oleh sepoi udara dingin pagi.
Daun-daun yang menjadi ranjangnya pun tak kuasa menahan tusukan dingin pagi.
Mereka mengatup. Mentari enggan beranjak membuat dingin makin menelanjangi raga
ini. Pagi itu, aku mendapati Nenek duduk sendirian di beranda depan. Rupanya,
Nenek sedang menyulam bendera. Aku heran, tapi aku segera menghampirinya. ”Selamat
pagi, Nek. Benderanya kenapa?” tanyaku.
”Oh,
cucuku sudah bangun!” sahut Nenek pura-pura kaget. ”Bendera ini sedikit robek
karena sudah lapuk.”
”Kenapa
tidak beli yang baru saja?” “Lagian, dingin-dingin begini. Nanti nenek masuk
angin.”
Nenek
tersenyum. ”Belum perlu,” katanya tanpa menghiraukan kekawatiranku. ”Ini masih
bisa diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih baik ditabung, siapa tahu
akan ada kebutuhan yang lebih penting.”
”Bendera
tidak penting ya, Nek?”
”O,
penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak akan membuangnya.”
“Lalu,
mengapa uangnya tidak dibelikan bendera saja, Nek? Bendera kan penting.”
Nenek berhenti sejenak dan menatapku. ”Kelak, ketika kamu
dewasa, kamu pasti bisa membedakan penting itu. Nenek harap kamu juga menjadi
penting seperti bendera ini.”
Aku mengamati bendera itu lekat-lekat. Selembar sambungan
kain merah dan putih. Tidak ada yang istimewa. Lebih keren bendera Amerika atau
Inggris, batinku. Aku makin penasaran.
”Apa
pentingnya, Nek? Apa bedanya dengan kain yang lain?”
Pertanyaanku membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam tapi
tersenyum menatap tajam kedua bola mataku yang lugu. Pintar sekali anak ini, mungkin
itu yang dikatakan Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik
untuk setiap pertanyaanku.
Untunglah, Nenek teringat Eyang Ketut, lelaki gaek yang
cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh dan tersedu di
tepi Sungai Moksa. Eyang Ketut pernah menulis sebuah cerita tentang pensil. Ya,
pensil. Kadang kala, Eyang Ketut juga bercerita tentang batu, angin, daun,
domba tetangga, apa pun. Benda-benda sederhana itu selalu menjadi cerita yang
mengesankan jika diceritakan Eyang Ketut.
Nah, ternyata Nenek meniru cara tokoh perempuan tua dalam
cerita Eyang Ketut itu ketika memberikan penjelasan kepadaku.
”Penting
atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek memulai
ceritanya. Bendera ini, lanjutnya, bukan kain biasa. Ia punya beberapa
keistimewaan yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang
patut kita tiru.
“Pertama,
semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan dan ukuran
seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara yang kita cintai.
Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia”, cerita Nenek.
Aku menganggung paham. Di sekolahpun Aku diberitahu bahwa
bendera negara ini, negara Indonesia yang Aku tempati ini berwarna merah putih.
Dwi warna, seingatku.
“Setiap
negara punya bendera yang berbeda. Dan semua warga negara menghormati bendera
negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini menjadi bendera bukan karena dirinya
sendiri, melainkan ada manusia yang membuatnya. Begitu pula kita bisa menjadi
apa saja asal ada kehendak dari Sang Pencipta”, lanjut Nenek.
“Kedua,
ketika kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Setelahnya, ia punya wujud baru
yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar dan tabah
menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita menjadi
pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah. Ingatlah kata pepatah, berakit-rakit
ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang
kemudian. Jangan pernah terbalik.”
“Ketiga,
bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya menjulang nyentuh
langit, ada angin yang membuatnya berkibar. Amat gagahnya. Sama dengan kita,
manusia, bisa mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari orang lain.
Kita tak boleh melupakan jasa mereka. Jangan arogan dan sombong setelah
sukses.”
“Keempat,
bendera ini bermakna tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli, berapa
harganya, atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik bentuk
dan susunan warnanya yang sederhana, ada pesan yang diwakili. Begitulah kita,
harus memerhatikan diri agar tetap selaras dengan cita-cita dan tujuan hidup
kita. Selalu bedakan kebutuhan dengan kemauan.”
“Kelima,
kain yang menjadi cikal bakal bendera dirangkai oleh berutas-utas benang
menjadi kain. Bendera itu punya makna; karena diperjuangkan dan akhirnya
dihormati. Kita harus seperti itu. Harus selalu berusaha agar apa yang kita
lakukan bisa bermakna. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu
ingin dihormati.”
”Begitulah,
cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek mengakhiri
penjelasannya.
Aku
mengangguk. Meski belum bisa memahami semua ucapan Nenek, Aku menangkap inti
yaitu betapa penting arti sebuah bendera.
”Sudah,
sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan jukut (sayur) gonde lengkap dengan telor goreng manis kesukaanmu.”
Aku
menuruti saran Nenek.
Pada sebuah kesempatan, awal terkuaknya makna penjelasan
Nenek waktu itu adalah saat Aku mendapat tugas sebagai pengibar bendera pada
upacara di sekolah. Seiring dengan lagu ”Indonesia Raya” yang dinyanyikan
serentak oleh para guru dan teman-temanku, aku menarik tali pengikat bendera agar
Sang Saka Merah-Putih berkibar di angkasa.
“Bendera
siap”, pekikku.
Semua
orang menghormat.
Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara
khusyuk memberikan penghormatan. Aku tertegun. Aku memerhatikan semua orang di
depanku. Saat itu Aku berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu tak ubahnya
sehelai benang. Sekolah tempat ku belajar ini ibarat alat pemintal, tempat
benang-benang itu dianyam agar menjadi lembaran kain.
Kelak setiap lembar kain ini akan berguna. Ada yang menjadi
baju, celana, selimut, atau taplak meja. Menjadi lap dan celemek juga berjasa,
meski tidak pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya, jika menjadi
pakaian, sering dipamerkan, menjadi tren dan harganya bisa mencapai ratusan
juta.
“Seketika,
dalam hati Aku bertekad ingin menjadi kain yang istimewa. Aku ingin menjadi
lambang seperti bendera”, Gus Tu berapi-api.
Setelahnya, Gus Tu dan Pradnya sama-sama menatap langit
dengan mata berkaca-kaca. Keduanya menyimpat optimisme yang membara. Mereka
ingin berkibar menyibak langit biru. Beberapa kupu-kupu melintas, melangit
bersama hembusan angin sejuk di permadani alam itu. Senja ketika mimpi itu tiba
di pesanggrahan mereka. Tiga angsa seputih bunga kamboja mengiringinya, ikut
menatap langit.
cerpen yang bagus, bolehkah ii di buat sebuah film?
BalasHapus