Kamis, 26 Januari 2012

cerpen: Bendera


“Berkali-kali aku bilang, bahwa aku tak pandai menulis puisi, tapi karena aku mencintai kekasihku, maka aku akan meminta tolong pada pujangga untuk membuatkan puisi.” Sudah aku bilang, aku tak lihai merangkai kata-kata indah yang mampu menyayat hati merah muda kekasihku, jadi aku tak akan pernah mengiriminya surat cinta dibungkus amplop berwarna pink.”
“Bukannya kamu pandai merangkau kata hingga para pendengarmu dan pembaca karya-karyamu begitu terhipnotis setelah mengunyah-ngunyah karya-karyamu?”
“Ia, tapi aku tak pandai menulis puisi. Aku juga bukan pria yang romantis. Aku tak biasa memberikan surat dan puisi kepada kekasihku. Aku mencintai mereka apa adanya. Tak pernah aku berbohong soal hati”, seloroh Gus Tu meyakini Pradnya.
“Tapi aku akan mengalir ketika kamu memintaku bercerita tentang bendera.”
“Bendera?”
“Ia. Bendera! Ada yang aneh?”
“Heemmm…tidak, ceritakan, Gus!”
Gus Tu mulai bercerita.
Ketika itu, Aku sedang berlibur di rumah Nenek di Desa Jepun Putih. Aku memang sering berlibur di rumah nenek. Ini ku lakukan agar Aku tidak bosan liburan panjang di rumah. Aku ingin menikmati indah desa dan alam suci yang belum terkontaminasi. Liburan di rumah Nenek selalu berkesan. Kebisaanku di sana satiap pagi adalah bangun pagi. Meski sedang liburan Aku tetap bangun pagi. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari.
Kalau sedang tidak libur, Aku bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Ini Aku lakukan karena Aku selalu ingat nasehat Nenek, ”Orang yang rajin bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki. Rezekimu tak akan pernah dipatok ayam,” pesan Nenek.
Bagiku, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar. Tipikal orang tua tradisional yang lihai bercerita cerita sederhana penuh amanat. Aku tak tahu apa makna nasehat Nenek itu, tapi Aku merasa ada benarnya. Logikaku membenarkannya. Bangun pagi membuat kita tidak terlambat tiba di sekolah dan otomatis tidak ketinggalan pelajaran. Selain itu, bangun pagi sungguh menyehatkan.
Hanya pada waktu pagi kita bisa menikmati suasana alam yang paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat, udara masih bersih, tumbuhan pun tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah bangun tidur. Aku teringat liburan bersama ayah ketika kanak-kanak. Pagi-pagi seperti itu biasanya ayah ditemani secangkir kopi di beranda depan rumah Nenek. Aku ingat persis peristiwa itu. Di atas meja, di sebelah minuman yang embunnya menetes-netes di pinggiran cangkir, terbuka sebuah buku. Tangan kirinya yang lentik memberati lembaran kiri buku itu agar tetap pada halaman yang tengah dibacanya.
Buku. Biasanya ayah membaca koran, jika di rumah. Tapi karena Nenek tidak berlangganan koran, jadi ayah melahap buku-buku koleksinya yang memang selalu ia bawa ke mana pun pergi. Tapi kali ini ayah memang tidak ikut menemaniku berlibur di rumah Nenek. Kebetulan jadwal libur kami tidak sama. Walau begitu, aku sudah besar, menurutku, dan bisa menikmati libur sendiri, pikirku.
Embun-embun mulai terbangun oleh sepoi udara dingin pagi. Daun-daun yang menjadi ranjangnya pun tak kuasa menahan tusukan dingin pagi. Mereka mengatup. Mentari enggan beranjak membuat dingin makin menelanjangi raga ini. Pagi itu, aku mendapati Nenek duduk sendirian di beranda depan. Rupanya, Nenek sedang menyulam bendera. Aku heran, tapi aku segera menghampirinya. ”Selamat pagi, Nek. Benderanya kenapa?” tanyaku.
”Oh, cucuku sudah bangun!” sahut Nenek pura-pura kaget. ”Bendera ini sedikit robek karena sudah lapuk.”
”Kenapa tidak beli yang baru saja?” “Lagian, dingin-dingin begini. Nanti nenek masuk angin.”
Nenek tersenyum. ”Belum perlu,” katanya tanpa menghiraukan kekawatiranku. ”Ini masih bisa diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih baik ditabung, siapa tahu akan ada kebutuhan yang lebih penting.”
”Bendera tidak penting ya, Nek?”
”O, penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak akan membuangnya.”
“Lalu, mengapa uangnya tidak dibelikan bendera saja, Nek? Bendera kan penting.”
Nenek berhenti sejenak dan menatapku. ”Kelak, ketika kamu dewasa, kamu pasti bisa membedakan penting itu. Nenek harap kamu juga menjadi penting seperti bendera ini.”
Aku mengamati bendera itu lekat-lekat. Selembar sambungan kain merah dan putih. Tidak ada yang istimewa. Lebih keren bendera Amerika atau Inggris, batinku. Aku makin penasaran.
”Apa pentingnya, Nek? Apa bedanya dengan kain yang lain?”
Pertanyaanku membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam tapi tersenyum menatap tajam kedua bola mataku yang lugu. Pintar sekali anak ini, mungkin itu yang dikatakan Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik untuk setiap pertanyaanku.
Untunglah, Nenek teringat Eyang Ketut, lelaki gaek yang cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh dan tersedu di tepi Sungai Moksa. Eyang Ketut pernah menulis sebuah cerita tentang pensil. Ya, pensil. Kadang kala, Eyang Ketut juga bercerita tentang batu, angin, daun, domba tetangga, apa pun. Benda-benda sederhana itu selalu menjadi cerita yang mengesankan jika diceritakan Eyang Ketut.
Nah, ternyata Nenek meniru cara tokoh perempuan tua dalam cerita Eyang Ketut itu ketika memberikan penjelasan kepadaku.
”Penting atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek memulai ceritanya. Bendera ini, lanjutnya, bukan kain biasa. Ia punya beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang patut kita tiru.
“Pertama, semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan dan ukuran seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara yang kita cintai. Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia”, cerita Nenek.
Aku menganggung paham. Di sekolahpun Aku diberitahu bahwa bendera negara ini, negara Indonesia yang Aku tempati ini berwarna merah putih. Dwi warna, seingatku.
“Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan semua warga negara menghormati bendera negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini menjadi bendera bukan karena dirinya sendiri, melainkan ada manusia yang membuatnya. Begitu pula kita bisa menjadi apa saja asal ada kehendak dari Sang Pencipta”, lanjut Nenek.
“Kedua, ketika kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Setelahnya, ia punya wujud baru yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar dan tabah menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah. Ingatlah kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Jangan pernah terbalik.”
“Ketiga, bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya menjulang nyentuh langit, ada angin yang membuatnya berkibar. Amat gagahnya. Sama dengan kita, manusia, bisa mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari orang lain. Kita tak boleh melupakan jasa mereka. Jangan arogan dan sombong setelah sukses.”
“Keempat, bendera ini bermakna tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli, berapa harganya, atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik bentuk dan susunan warnanya yang sederhana, ada pesan yang diwakili. Begitulah kita, harus memerhatikan diri agar tetap selaras dengan cita-cita dan tujuan hidup kita. Selalu bedakan kebutuhan dengan kemauan.”
“Kelima, kain yang menjadi cikal bakal bendera dirangkai oleh berutas-utas benang menjadi kain. Bendera itu punya makna; karena diperjuangkan dan akhirnya dihormati. Kita harus seperti itu. Harus selalu berusaha agar apa yang kita lakukan bisa bermakna. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu ingin dihormati.”
”Begitulah, cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek mengakhiri penjelasannya.
Aku mengangguk. Meski belum bisa memahami semua ucapan Nenek, Aku menangkap inti yaitu betapa penting arti sebuah bendera.
”Sudah, sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan jukut (sayur) gonde lengkap dengan telor goreng manis kesukaanmu.”
Aku menuruti saran Nenek.
Pada sebuah kesempatan, awal terkuaknya makna penjelasan Nenek waktu itu adalah saat Aku mendapat tugas sebagai pengibar bendera pada upacara di sekolah. Seiring dengan lagu ”Indonesia Raya” yang dinyanyikan serentak oleh para guru dan teman-temanku, aku menarik tali pengikat bendera agar Sang Saka Merah-Putih berkibar di angkasa.
“Bendera siap”, pekikku.
Semua orang menghormat.
Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan penghormatan. Aku tertegun. Aku memerhatikan semua orang di depanku. Saat itu Aku berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu tak ubahnya sehelai benang. Sekolah tempat ku belajar ini ibarat alat pemintal, tempat benang-benang itu dianyam agar menjadi lembaran kain.
Kelak setiap lembar kain ini akan berguna. Ada yang menjadi baju, celana, selimut, atau taplak meja. Menjadi lap dan celemek juga berjasa, meski tidak pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya, jika menjadi pakaian, sering dipamerkan, menjadi tren dan harganya bisa mencapai ratusan juta.
“Seketika, dalam hati Aku bertekad ingin menjadi kain yang istimewa. Aku ingin menjadi lambang seperti bendera”, Gus Tu berapi-api.
Setelahnya, Gus Tu dan Pradnya sama-sama menatap langit dengan mata berkaca-kaca. Keduanya menyimpat optimisme yang membara. Mereka ingin berkibar menyibak langit biru. Beberapa kupu-kupu melintas, melangit bersama hembusan angin sejuk di permadani alam itu. Senja ketika mimpi itu tiba di pesanggrahan mereka. Tiga angsa seputih bunga kamboja mengiringinya, ikut menatap langit.

1 komentar: