Senin, 31 Oktober 2011

KETIKA NGAYAH BERUJUNG MUSIBAH



Potret transportasi laut saat ini boleh dikatakan sangat buram. Ironisnya, departemen perhubungan telah mengkambing hitamkan cuaca buruk sebagai penyebab kecelakaan. Padahal banyak faktor teknis dan regulasi yang merupakan penyebab kecelakaan angkutan laut. Ketika ngayah menjadi sebuah musibah, “siapa” yang layak dikambing hitamkan?
Ngayah, sebuah tradisi yang sudah dilakukan oleh masyarakat Bali dari sejak dulu kala dan telah mengakar di dalam pribadi masyarakatnya. Kewajiban serta keiklhasan adalah pondasi dari ngayah. Jika dilihat dari segi definisinya, ngayah ialah kegiatan mengabdi terkait acara/upacara adat tanpa mengharap imbalan. Dalam sebuah kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu bisa dikatakan sisi lain dari tradisi ngayah. Ngayah yang bertujuan mendekatkan diri dengan Tuhan dan berharap keselamatan bisa menjadi sebuah petaka.
Sesobek kabar duka datang dari perairan Jungutbatu, Klungkung. Kapal Motor Sri Murah Rejeki yang ditumpangi warga Dusun Sebunibus tepatnya sekaa angklung (kelompok kesenian dengan gambelan Bali bernama angklung yang memiliki empat selendro) itu, terbalik di laut sepulang ngayah. Takdir memang tidak bisa dihindari. Rasa kebersamaan yang menjadi bagian dari ngayah seakan menjadi sinyal sebuah musibah bagi para korban. Ngayah dan keselamatan diri memang tidak berhubungan secara langsung, apalagi jika melihat dari jenis kecelakaan ini, kecelakaan kapal laut. Antara ngayah, keselamatan serta pemilihan transportasi laut tidak ada hubungannya, tapi kecelakaan itu seakan membuktikan lain. Bagi mereka yang ngayah asal bisa bersama-sama dengan teman walau menggunakan transportasi seadanya bahkan ngayah dengan berjalan kaki beriringan berapa pun jauhnya lokasi upacara. Banyak hal yang mereka dapatkan dari kebersamaan itu. Mereka saling mempererat silahturahmi dan berbagi pengalaman. Jika sudah begini terkadang keselamatan menjadi nomor kesekian. Ngayah pun tak memperhatikan keselamatan diri sendiri, khususnya dalam pemilihan transportasi.
Terkait kecelakaan kapal yang belakangan ini sering terjadi, khususnya kecelakaan yang dialami sekaa angklung, harusnya membuat kita bersama berpikir mencari jalan keluarnya. Selanjutnya, pemerintah dan pemangku hendaknya bekerja keras dan memberikan pengertian kepada para sekaa agar memikirkan keselamatan diri dan tak sekadar menjadi bagian dari ngayah. Pun dengan alatnya yang juga merupakan bagian dari spiritual, agar ngayah tak berujung musibah, seperti kawan-kawan kita sekaa angklung Dusun Jungutbatu, Nusa Lembongan. Astungkara (semoga).

Jumat, 28 Oktober 2011

18.00 AM

Puisi adalah perkenalan awal pada sebuah ketenaran bagiku. Puisi juga yang membawa aku menimba banyak pengalaman. Puisi adalah lomba. Puisi adalah kebebasan. Waktu aku kecil, puisi yang membuatku disegani. Itu kiprah awalku dengan bahasa juga sastra. Yang akhirnya membuatku memilih masa depan dan berserah diri padanya. Remaja, aku kembali berjumpa dengan puisi yang kembali membuat aku disegani kawan-kawan baruku. Aku si Pemalu tak pernah bermimpi akan terjadi hal seperti ini.

Semakin menginjak umur, aku mulai melupakan puisi. Aku milai menulis komposisi. Hasilnya, aku kembali disegani lewat jalur ini. Aku mulai meretas mimpi, aku mulai yakin, dan semoga saja keyakinanku tidak mengecewakan. Akhirnya aku terbiasa dengan dunia baruku dan mencoba lagi menyibak sekat untuk menemukan dunia lamaku. Aku masih berproses.

Kamis, 27 Oktober 2011

Tiga Malam di Awal Oktober

Jangan bunuh lenguhan itu, mereka tak salah.
Sebab sekiranya kalian melihat utuh-penuh tubuh-tubuh tak berhalang ketika itu biarkan saja.

Cinta, kata mereka adalah lenguhan dua insan saat temaram membungkus sudut-sudut kamar.
Yang bicara adalah cahaya.
Yang dikonstruksi, dikomposisi.

Sebuah riwayat
historis adam hawa
hawa bersabda:
hanya dimataku cintanya terpantul indah

Malam pertama. Lenguhan terjadi mendebarkan, mencabik-cabik dinding penyekat kotak 2x2 m. Malam kedua. Lenguhan menjadi-jadi. Malam ketiga. Lenguhan kini bercerita, tak berucap, tapi saling mengerti. Tetes keringat mengalir mencoba menjawab. Mereka menggurat malam-malam dengan lenguhan-lenguhan merekah. Meninggi bersama lenguh demi lenguh, saat hari akan segera menutup mata. Esok pagi menyisakan buih-buih lenguhan. Menyisakan nikmat dosa.


Esa Bhaskara
2011

Senin, 24 Oktober 2011

SAAT KUALITAS PENDIDIKAN MENJADI TARUHAN


Sejumlah bupati/wali kota kini semakin banyak yang ikut campur dalam pengangkatan, pemindahan, pemerhentian kepala sekolah dan tentu saja kepala dinas sampai penerimaan siswa baru. Mengerikan. Dunia pendidikan kini dipolitisasi. Otonomi daerah disalahgunakan. Cepat atau lambat hal itu akan mengancam kualitas pendidikan nasional.
Beberapa tahun yang lalu ayah saya yang seorang guru ditugaskan menjadi KPU pemilihan kepala desa. Karena pekerjaan dadakan itu, ayah hampir saja dipindah tugaskan ke daerah pelosok di kabupaten tempat kami tinggal. Seorang anggota DPR menekan ayah agar memenangkan salah satu calon pada pemilihan kepala desa itu. Jika dipikir-pikir, apa hubungan ayah saya yang seorang guru bisa dipindah seenaknya hanya karena malah politik. Memang tidak ada hubungannya tapi pemindahan itu bisa saja terjadi dalah waktu kurang dari 48 jam. Inilah hanya contoh kecil “kesaktian” otonomi daerah yang berlaku di dunia pendidikan.
Dunia pendidikan nasional ibarat pencetak teroris. Ekstrim memang. Tapi itulah kenyataannya. Politisasi dalam pendidikan menyebabkan orang-orang yang tidak berkopeten mendapat kedudukan. Dalam kasus pengangkatan kepala sekolah, misalnya. Kita butuh pemimpin-pemimpin dalam pendidikan yang memiliki wawasan dan menguasai betul soal pendidikan, sehingga dalam perjalanannya bisa mengambil solusi-solusi terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Jika pemimpin yang diangkat karena mempunyai kedekatan dengan pejabat dan yang bersangkutan tidak memiliki latar belakang, pengalaman, dan pemahaman tentang pendidikan terpilih maka bisa dilihat seperti apa kerja mereka. Jika hal serupa terjadi pada guru, seperti yang jamak terjadi, alamat berbahaya bagi masa depan anak didiknya. Bagaimana jadinya jika seorang guru yang “beruntung” karena menjadi tim sukses sang bupati terpilih, ia hanya mempunyai modal pengalaman menjadi tukang judi kelas kakap, tidak ada pengalaman mendidik akhirnya menjadi guru?
Intervensi pemerintah kabupaten/kota terhadap sekolah juga terjadi pada kelulusan siswa. Sejumlah kepala biasanya diberi target tertentu dalam kelulusan siswa. Jika tidak memenuhi target, kelapa sekolah biasanya dimutasi atau diberhentikan dari jabatannya. Kepentingan politik kini mengintervensi dunia pendidikan. Jika kepala sekolah sudah diintervensi, selanjutnya apa yang terjadi? Kepala sekolah akan menekan guru untuk mencapai target kelulusan itu tanpa memperdulikan cara yang ditempuh. Akibatnya guru tidak tenang dalam mengajar, karena beban yang begitu berat.
ilustrasi :)
Apa yang terjadi pada Ibu Siami adalah contoh paling nyata yang terjadi baru-baru ini. hati nurani sang Ibu melawan massa teroris yang sama-sama mempunyai pembenaran masing-masing. Ibu Siami tidak bisa menerima anaknya Alif menjadi pelaku tindakan kecurangan dalam ujian nasional disekolahnya. Alif yang sedari kecil diajarkan kejujuran oleh sang ibu tidak menyangka akan diajarkan trik-trik curang oleh sekolahnya yang oleh sang ibu diharapkan menjadi tempat untuk memupuk kejujuran itu.
Ia ingin membongkar kecurangan itu dengan melaporkannya kepada penguasa di daerahnya. Ia sangat tidak terima anaknya diajak berbuat curang. Malang nasibnya, perjuangan menegakkan kejujuran yang dilakukannya membentur batu besar yang akhirnya menindih dia dan keluarganya. Siami diserbu masyarakat. Siami bak pahlawan kesiangan bagi mereka. Kisah selanjutnya, siami dan keluarga diusir warga. Sangat ironis.
Alif anak Siami baru duduk di bangku sekolah dasar. Inilah cerminan pendidikan nasional, sedari SD anak sudah diajarkan menjadi teroris. Ini tidak bisa dilepaskan pada sistem pendidikan kita yang mengukur prestasi anak semata dari hasil ujian dan ulangan semata. Pun hanya mengandalkan proses, karena bisa saja proses itu hanya dijadikan kedok. Padahal ada udang di balik batu. Terbaik adalah melihat secara keseluruhan, proses dan evaluasinya. 

Minggu, 16 Oktober 2011

POHON




Tak perlu menunggu maut melesat bersama peluru
samar terlihat sabit menonton maut merenggut
pohon tak berdaya, disantap kanibal gas
bukan salah siapa-siapa.

Hari ini pun kau akan diantar ke hari-hari kering gersang
penjara gersang
lalu tinggal pilih, surga atau neraka
ketika pemilik wajah-wajah hilang.

Pohon-pohon tak lagi lahir dalam rimba
rimba-rimba tak lagi tersenyum
senyum-senyum pohon meruncing tajam
runcing-runcing tajam pohon-pohon gersang memangsa manusia.

Sepertinya kita perlu ilusionis untuk menciptakan ruang-ruang hijau
taman, makam, hutan, danau
hijau, pohon, pekarangan, paru-paru kota.

Tak perlu melibatkan tuhan
dua hari sebelum malam itu, sedang ku telusuri malam terakhir
kukira mereka mati, ternyata hanya tersiksa tertusuk kering
                                                                        lidah terjulur retak.

Terdengar, aku mendengar, sekali lagi, jeritan pohon
ia menyesal bila bocah-bocah tak berhasil lari.

ilustrasi :)


Esa Bhaskara
Jalan P. Bali, 14 Oktober 2011

Jumat, 14 Oktober 2011

Yang Berlebihan Itu Berbahaya


Dulu, saat sedang nge-tren-nya tayangan smackdown (gulat gaya bebas), Komisi Penyiaran mendapatkan banyak protes dari masyarakat. Di sejumlah daerah, banyak anak yang mempraktekkan adegan di televisi itu pada temannya. Fatalnya banyak anak meniri adegan smackdown itu, hingga membuat temannya kehilangan nyawa.
Banyak reaksi hebat dari masyarakat, Komisi Penyiaran akhirnya melarang total tayangan itu. Para akademisi berpendapat, secara naluri sosial, manusia itu akan cenderung meniru perilaku orang lain yang dilihatnya. Lebih-lebih jika perilaku itu mendapat "restu" (didiamkan atau dianggap wajar) oleh standar sosialnya. Dan lebih-lebih lagi jika perilaku itu negatif. Perilaku negatif jauh lebih cepat ditiru dan menyebar.
ilustrasi :)
Masih soal tayangan televisi, anak-anak kecil kini mudah menjadi terlalu cepat dewasa setelah melihat berbagai tayangan. Hal ini bisa terjadi karena si anak sering menonton sinetron. Menginjak ke anak-anak yang sudah menginjak remaja, play station (PS) dan internet menjadi masalah. Anak-anak secara cepat ketagihan dengan kedua hal di atas hingga menyebabkan mereka menghabiskan banyak waktu dan uangnya untuk bermain PS dan internet. Mereka duduk berjam-jam, menghabiskan tidak sedikit anggaran belanja keluarga.
Internet pun demikian. Dengan menjamurnya warnet, para pengelola seakan berlomba menawarkan fasilitas plus supaya tidak kalah saing. Salah satunya adalah dengan menyediakan ruangan "VIP". Di ruangan itulah para pelanggan memanfaatkannya untuk hal-hal yang berbau amoral.
Televisi, internat atau Plays Stasion, adalah tamu tak diundang yang bisa membawa berkah atau musibah bagi anak-anak. Akan menjadi berkah apabila digunakan untuk kebaikannya dan dalam porsi yang masih dianjurkan. Tapi bila tidak, ini akan mendatangkan musibah. Kuncinya, segala yang berlebihan itu seringkali menimbulkan dampak yang merugikan.

GETAS

Ketika ingin mengejar apel kejarlah sampai ujung dahan-dahan tak bercabang dalam rimba bila perlu kejarlah pagi, tanyakan pada malam bila masih tak terlihat. Jika ingin meneguk sari apel pastikan raga jiwamu luput dari getas getasnya waktu, di getasnya daun-daun dan dahan-dahanmu.

Apel mungkin saja jatuh tiba-tiba terlintas pada tebing-tebing wernick dan brocca tapi mungkin saja benar-benar jatuh tanpa mengendap dan hanya menitipkan mimesis-mimesis yang berbaris rapi. Pada malam di luar pagar sepanjang jalan ke kebun belum terlihat apel diribaan daun dan dahan.

Esa Bhaskara
Kampus Bawah, 13 Oktober 2011

Senin, 10 Oktober 2011

Selanjutnya, Optimalkan Art Centre!


Fasilitas publik yang ada di Bali masih minim, lebih minim lagi jika yang dimaksud fasilitas publik yang disediakan pemerintah. Bila ragu, bisa Anda hitung sendiri. Jikapun ada, pasti masih belum jelas pengelolaannya. Inilah yang menjadi masalah sebenarnya. Sebuah kewajiban bagi pemerintah (sebenarnya) untuk menyediakan fasilitas publik bagi rakyatnya. Wujud fasilitas publik itu bermacam-macam, mulai dari jalan, taman kota, air bersih, rasa aman, dan lain-lain. Tergantung kebutuhan rakyat dan mengacu pada tradisi dan budaya masyarakat setempat.
Art Centre atau yang kerap disebut Taman Budaya merupakan salah satu fasilitas publik yang dibangun pemerintah, tepatnya saat zaman Gubernur Prof. Ida Bagus Mantra untuk mewadahi kreativitas para seniman Bali. Itu tujuan utamanya saat itu. Tapi kini, Taman Budaya yang harusnya menjadi kebanggaan Bali minim perhatian pemerintah. Pemerintah seakan lupa bahwa kita memiliki aset yang sangat berharga. Disebut berharga karena di tempat itulah Bali bisa dilihat, secara makro maupun mikro.
Jika kemudian ada kabar bahwa Art Centre ini akan ditambah fasilitasnya, segera muncul pertanyaan seberapa pentingkah hal itu dilakukan, setidaknya untuk saat ini. Semua akan terkesan mubasir, jika pengelolaannya masih “primitif” seperti hari ini. Sungguh disayangkan bangunan megah itu hanya diisi “nafas” kesenian dan energy dari para penikmat seni saat acara Pesta Kesenian Bali (PKB) saja. Makin mubazir ketika mengingat PKB lebih dilihat sebagai pasar malam oleh warga daripada tempat hajatan seni terbesar yang dimiliki Bali. Bangunan yang awalnya didirikan sebagai wadah kreatifitas berkesenian masyarakat Bali, kini hanya teronggok sepi saat hari-hari biasa. Pengelolaan jauh dari maksimal.
Seakan-akan fasilitas yang hendak ditambahkan seperti panggunug, sound system, tata lampu, serta CCTV dalam waktu dekat ini makin mubazir. Fasilitas yang wah berkat kucuran dana mencapai 21 Milyar itu semakin mengernyitkan dahi, dan jika diimbangi dengan pengelolaan seperti sediakala hanya akan menambah pengeluaran bagian perawatannya. Lain halnya jika setelah dipermak , Taman Budaya segera difungsikan sebagaimana mestinya pasti membuat masyarakat kreatif Bali memiliki wadah yang sangat pas bagi karya-karya mereka. Sekali lagi, yang menjadi perkara bukan karena dana besar serta fasilitas yang katanya dipugar, tapi tindank lanjut yaitu konsistensi perawatan tempat itu masih nihil. Pemerintah, tolong fasilitasi mereka. Jangan sampai dikalahkan oleh pihak swasta yang lebih maju dalam hal ini. Akan lebih baik bila, antara pemerintah dengan swasta mampu berjalan searah menyikapi hal ini. Semoga saja yang jawaban yang diberikan adalah opsi yang terakhir. Astungkara.. (semoga)