Sabtu, 24 September 2011

Sebanyak 14 pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Blitar, Jawa Timur, dihukum dengan cara dijemur karena mangkir saat kegiatan upacara bendera peringatan HUT Ke-66 RI pada 17 Agustus 2011 (seperti diberitakan Kompas.com Rabu, 21 September 2011). Sebuah kemajuan jika memang kedisiplinan sudah diterapkan ke semua elemen. Jangan hanya menuntut disiplin siswa jika sang guru tidak disiplin. Pun sebaliknya, guru hendaknya memberi contoh bagaimana disiplin itu. Bagaimana kita bisa menjadi bangsa yang besar jika rakyatnya sendiri belum bisa menghargai negara tercinta (baca Upacara bendera HUT RI).

Kamis, 22 September 2011

Budaya Patriarki, Antara Dunia Nyata dan Sastra

Marginalisasi atas peran dan eksistensi perempuan khususnya di Bali hingga kini masih hangat diperbincangkan. Budaya patriarki mengatur perempuan sehingga tidak memiliki kuasa untuk turut menentukan kebijakan-kebijakan di segala lini bahkan yang menyangkut diri pribadinya. Hegemoni budaya patriarki yang sedari awal dipandang pernah tumbuh dan lekat dalam sendi kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Bali telah membentuk sekaligus mendasari pola-pola hubungan tertentu terutama antara lelaki dan perempuan. Selama ini, perempuan selalu dieksploitasi dalam tataran apa pun. Adanya “tokoh” Leak, Pekerja Seks Komersial (PSK), pahlawan devisa (TKW) yang disiksa bahkan dibunuh adalah ekploitasi lingkungan terhadap perempuan itu sendiri.
Tapi, lambat laun mulai terjadi sebuah “perlawanan” dari perempuan-perempuan itu. Mulai dari Sukreni gadis Bali hingga Tantri dengan ceritanya. Sudah bukan hal baru lagi, menyaksikan adegan tokoh wanita menangis bahkan “merengek-rengek” akibat perlakuan tokoh pria dalam sebuah tayangan sinetron. Tayangan program sinetron seperti ini jelas diakui dapat menyentuh emosi audiens. Mungkin secara gamblang diibaratkan air mata dan kesedihan wanita telah menjadi faktor atensi yang memiliki nilai jual. Sehingga tidak dapat dipungkiri beberapa judul sinetron yang siaran secara nasional di Indonesia telah mendapatkan rating tinggi dan tidak lepas dari adegan-adegan melankolis antara wanita dan pria. Beberapa waktu lalu dalam Sandayakala Sastra #15 Resistensi Terhadap Hegemoni Patriarki : Perlawanan Kultural Perempuan-perempuan Bali dalam Novel yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya Bali mengadirkan Gede Artawan sebagai pembicara.
Disebutkan tahun 1930-an, muncul karya-karya novel Agung Nyoman Panji Tisna. Ia adalah salah satu pengarang feminis asal Buleleng, Bali yang merekonstruksi tokoh-tokoh wanitanya untuk melakukan perjuangan kultural terhadap hegemoni budaya patriarki. Melalui tokoh-tokoh wanita dalam novelnya Sukreni Gadis Bali, ia berupaya menggambarkan kondisi sosial yang tengah terjadi ketika itu. Betapa perempuan menghadapi sebuah problema besar di dalam masyarakatnya sendiri. Pun dengan Putu Wijaya dan Made Iwan Darmawan dengan novel Ayu Manda di era modern. Di tengah budaya patriarki yang memang menjadi sebuah “kodrat” dalam hidup semakin banyak saja kaum perempuan yang mencoba mendobrak ketidakberdayaan mereka terhadap kenyataan ini. Kini, masyarakat sastra khususnya di Bali mengenal nama-nama penulis yang dianggap tidak hanya mewakili eksistensi kaum perempuan dalam kepengarangan tetapi juga sebuah wujud penyadaran komunal bahwa perempuan setara dengan lelaki dalam berbagai sisi. Oka Rusmini, Cok Sawitri dan bermunculannya penulis-penulis perempuan Bali yang terbilang masih muda dianggap turut melakukan perjuangan melawan bias gender dan upaya diskriminasi di segala bidang. Bagaimana sesungguhnya perlawanan kultural perempuan-perempuan Bali dalam novel? Apakah karya sastra mampu memberi ruang kemungkinan yang menjernihkan kepada masyarakat terutama dalam mencermati serta merumuskan peran dan eksistensi perempuan? Apa yang terjadi pada tokoh Sukreni, Ayu Manda dan yang lainnya bagaimana perempuan sedari dulu hingga sekarang tidak mengalami “kenaikan derajat”. Perempuan tetap menyuci, memasak, dan mengerjakan banyak hal dalam rumah tangga, sebaliknya laki-laki bisa semau gue. Bagaimana pula penempatan perempuan dalam komik, pun sastra yang lain? Tokoh perempuan dalam komik menjadi isu penting untuk dikaji ketika hal ini disinggungkan oleh teori-teori feminis yang sangat semarak sekarang ini. Tokoh perempuan dalam komik selalu digambarkan menjadi tokoh pendamping (sidekick) atau bumbu sedap yang dapat memeriahkan dan menghidupkan suasana komik.
Contoh nyata bisa kita lihat dalam komik terkenal Spiderman, dalam komik ini diceritakan bahwa Spiderman mencintai Mary Jane sejak dulu karena rumah mereka bersebelahan, namun Spiderman tidak sanggup untuk menyatakan cinta karena merasa dirinya lemah dan tidak layak bagi Mary Jane. Dalam cerita komik Spiderman ini kita bisa lihat bahwa tokoh wanita hanya sebagai pemanis, bumbu sedap bagi komik ini sehingga menjadi magnet utama agar pembaca setia dan rutin mengikuti perkembangan komik ini. Kasus paradoks tokoh perempuan dalam komik banyak ditemukan dalam genre komik pahlawan super (superhero) keluaran Amerika. Para tokoh-tokoh perempuan itu selalu bisa kita temukan dalam komik-komik pahlawan super itu, namun fungsi mereka sudah meragukan sejak awal. Fungsi dan peran tokoh perempuan dalam komik sudah dimarginalkan sejak awal hingga akhir cerita. Namun, muncullah Wonder Woman, karakter tokoh perempuan yang mengubah semua itu. Wonder Woman diciptakan oleh seorang psikoterapis (ahli kejiwaan) yang peduli tentang marginalisasi gadis-gadis muda dari media buku komik yang sangat populer. Wonder Woman menggabungkan kekuatan dan keterampilan , tenaga dan senjata untuk melengkapi kekuatan mendominasinya. Setelah itu berturut-turut muncul banyak pahlawan super yang lain, seperti : Cat Woman, The Wasp, Elektra, Invisible Girl, dll. Paling tidak komik-komik amerika keluaran marvel komik selalu menyertakan pahlawan super wanita untuk menjadi pelengkap. Wanita-wanita dalam buku komik banyak sekali digambarkan menyerupai fantasi-fantasi para lelaki. Wanita dalam buku komik selalu memakai kostum ketat, dengan tubuh yang tinggi semampai, dada berisi, wajah cantik, bokong seksi, dan penggambaran sempurna lainnya. Walaupun pada kenyataannya jika kita membayangkan adegan perkelahian pahlawan super wanita sedang berkelahi dengan kostum ketatnya itu mustahil akan menang karena sangat susah berkelahi dengan kostum ketat yang menempel dikulit. Namun, penggambaran tokoh wanita yang seperti itulah yang justru dipertahankan oleh para komikus, strategi penggambaran tokoh wanita seperti itulah yang terbukti disukai oleh para pembaca yang dengan sukarela mengesampingkan kesangsiannya bahwa serangan dan pertahanan yang terbaik adalah selapis tipis kain spandeks.
Sungguh memprihatinkan, ternyata tokoh perempuan dalam komik dirampok habis-habisan oleh para komikus yang berkarya berdasarkan fantasi-fantasi liar mereka yang juga seorang lelaki? Semoga saja tidak. Di dunia nyata akan beranalog dengan kasus penjualan perempuan atau anak perempuan oleh orang tuanya untuk dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK). Fe¬nomena ini bukanlah hal baru. Pelacuran, kape remang, dan prostitusi terselubung salah satu yang ekstrim. Gadis-gadis tersebut me¬mang terbukti ampuh menaikkan “selling point” rumah prostitusi. Sama-sama membuat bulu kuduk merinding. Seperti yang sudah sempat disinggung tadi, perempuan memang mengalami sebuah kodrat yang memang tidak bisa dihindari. Dalam hal ini, laki-laki sebagai pihak “menyiksa” tidak merasa telah menyiksa pihak perempuan, sebaliknya pihak yang tersiksa tidak merasa disiksa. Jika begini, apa yang perlu dipermasalahkan? Citra perempuan sebagai sosok heroik di Indonesia akhirnya muncul dalam film “Tjoet Nja’ Dhien” (1986) yang diperankan oleh Christine Hakim. Film biografi pahlawan perempuan Aceh ini melambungkan nama Christine Hakim. Kemunculan film ini memang tidak serta merta merubah cara berpikir perempuan Indonesia dalam kungkungan budaya patriarki. Sementara itu kiprah perempuan di balik layar diawali oleh Ratna Asmara pada tahun 1950. Dia adalah sutradara perempuan pertama di Indonesia, menyutradari karya film “Sedap Malam” (1950),”Musim Bunga Di Selabintana” (1951), “Dokter Samsi” (1952), “Nelajan” (1953) dan “Dewi dan Pemilihan Umum” (1954). Ketika itu kehadiran Ratna Asmara sebagai sutradara perempuan pertama di dunia perfilman Indonesia cukup mengagetkan sekaligus menakjubkan. Lalu hadirlah nama Sofia W.D sepuluh tahun kemudian tahun 1960 setelah rekannya Ratna Asmara. Film yang pertama digarap olehnya sebagai sutradara ialah “Badai selatan” (1960). Setelah itu, tahun 1971 muncul Chitra Dewi dengan tiga film yang disutradarainya antara lain, “Penunggang Kuda Dari Cimande” (1971), “Dara Dara” (1971) dan “Bercinta Dalam Gelap” (1971) Walaupun ketiga karyanya tersebut dinilai kurang memadai ketika itu, namun kehadirannya cukup memberikan peran yang penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Yang paling terakhir pada masa awal hadirnya sutradara perempuan Indonesia ialah Ida Farida. Adik kandung dari H. Misbach Jusa Biran ini memiliki perjuangan yang cukup menarik sampai akhirnya ia menjadi salah satu sutradara perempuan Indonesia. Pertama kali terjun di duni perfilman sebagai still-photo dan merangkap sebagai publicity dalam film “Segenggam Harapan”. Kemudian menjadi script girl dalam “Melawan Badai” (1972), lalu menjadi asisten sutradara. Hasil kerja kerasnya untuk menjadi sutradara tak lepas dari bimbingan dari Sofia W.D, yang telah banyak membantunya. Beberapa karya filmnya ialah, “Guruku Cantik Sekali” (1979), “Busana Dalam Mimpi” (1980) & “Merenda Hari Esok” (1981). Kebangkitan perfilman Indonesia dari mati surinya selama 12 tahun dimotori oleh sineas perempuan. Diawali film “Kuldesak” melibatkan dua sutradara perempuan, yaitu: Mira Lesmana dan Nan T Achnas. Meskipun film ini tidak sukses di pasaran namun sanggup memberikan geliat film Indonesia generasi baru. Gebrakan berikutnya dari Mira Lesmana terjadi saat “Petualangan Serina”(1999) dan “Ada Apa dengan Cinta”(2001) membuat antrian panjang penonton hingga berbulan-bulan lamanya. Lalu Nan T Achnas hadir dengan “Pasir Berbisik” (2001). Nia Dinata dalam “Berbagi Suami”(2006) menggambarkan bagaimana derita psikis perempuan yang dipoligam.).
Sebenarnya masih banyak nama-nama sineas perempuan yang belum saya sebutkan dalam paparan tulisan ini. Hal tersebut bisa menjadi indikator bahwa dunia perfilman sudah menjadi ruang eksistensi perempuan. Sineas perempuan memberikan kontribusi postif dan ikut mendorong perkembangan dunia perfilman Indonesia. Misi penyadaran jender dijadikan pembanding dari tontonan mainstreem yang menguasai pasar. Semoga tercipta generasi yang kritis dan sadar jender. Jika melihat dari sisi penjelasan tadi, seakan-akan budaya patriarki menguap di dunia nyata. Nyatany? Belum sama sekali.

Rabu, 21 September 2011

Penegak Hukum Dituntut Lebih Sakti

Gencarnya penangkapan pemain-pemain dalam praktik judi di Bali akhir-akhir ini membuat masyarakat agak lega. Tertangkapnya sang Bandar togel pun, semakin meyakinkan masyarakat bahwa judi togel di Bali akan segera berakhir. Tapi, tidak ternyata endingnya tidak segampang apa yang diprediksikan banyak orang. Awalnya saya salut dengan kinerja yang telah dilakukan oleh Kapolda Bali, dengan “mencabut” praktik judi togel sampai ke akar-akarnya. Seperti yang kita ketahui, togel adalah praktik kriminal yang cukup sakti. Karena (seperti yang diisukan) orang-orang besar ikut andil di dalamnya. Tapi segera muncul kesangsian di benak saya, akankah proses hukum kasus ini bisa benar-benar tuntas.? Ataukah akan bernasib sama dengan kasus-kasus terdahulu yang menghilang tiba-tiba tanpa ending yang jelas? Kecenderungan kasus-kasus di negeri ini seperti hangat-hangat tai ayam. Pertanyaan berikutnya, apakah kasus ini bisa terselesaikan dengan “bersih”? Seperti kecenderungan lain yang sering terjadi pada kasus-kasus pejabat ataupun orang-orang berkedudukan yang didukung para mafia berkekuatan besar. Kasus selesai dengan beberapa “bantuan” pihak-pihak tak berwenang.
ilustrasi :)
Kembali ke kasus bandar togel ini, pihak terkait yang menangani kasus ini hendaknya benar-benar menjalankan hukum yang ada. Maksudnya, proses hukum yang harus dilewati hendaknya terbebas dari permainan hukum oleh para mafia hukum dan antek-anteknya. Tak perlu diragukan hukum Negara ini, begitu pula dengan sistem yang mengaturnya. Saya pikir, semua sudah benar. Yang bermasalah di sini adalah SDM yang menjalankan sistem itu. Praktik kolusi sering ikut campur di dalamnya. Bila kemudian muncul pemikiran untuk membentuk tim independen untuk mengawasi proses peradilan, hendaknyalah SDM yang dipilih benar-benar terbebas dari kolusi ini. Apa gunanya, jika tim independen ini juga teracuni kolusi, tidak kuat iman dan bisa dihasut para mafia hukum? Sebaiknya, pastikan semua komponen dalam penyelesaian hukum dalam kasus ini benar-benar bersih dari kolusi. Jangan sampai, pemain-pemain judi togel ini malah memainkan proses hukum yang sedang berlangsung. Apalagi berending menguntungkan pihak yang salah. Jika begitu, perlu kiranya mengkaji ulang sistem hukum serta SDM yang bertugas.

Realita Bahasa Indonesia

Rendahnya angka kelulusan mata pelajaran bahasa Indonesia pada ujian nasional 2011 jenjang SMA/MA dinilai akibat soal terlalu sulit. Naskah soal tergolong sulit karena lebih mengutamakan soal yang bersifat penalaran. Terlalu banyak soal yang diawali dengan bacaan juga sebenarnya menghambat siswa dalam mengefektifkan waktu. Banyak soal yang tanpa bacaan pun bisa dijawab, tetapi malah berisi bacaan. Tentu saja hal ini akan berpengaruh dalam pengerjaan soal. Selain karena kemampuan siswa secara pribadi terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia yang mungkin memang rendah. Ada banyak faktor yang bisa kita telusuri terkait masalah di atas. Karena jebloknya nilai ujian nasional terjadi secara umum (banyak), berarti bukan karena pribadi, tetapi mungkin memang soalnya benar-benar sulit. Proses pembelajaran di kelas kurang efektif, kurikulum yang disajikan, atau faktor buku, dan bisa saja kemampuan gurunya yang kurang. Jujur saja, ini masalah yang cukup pelik. Semua pihak hendaknya mencari solusinya. Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku yang tinggal di beberapa pulau. Negara Indonesia memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat. Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani sempat berujar, rendahnya sikap positif masyarakat terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia membuat mata pelajaran tersebut menjadi kalah bergengsi dengan mata pelajaran bahasa Inggris. Apa implikasinya? Terbukti masyarakat lebih prestisius menggunakan bahasa asing. Bahasa Indonesia masih diremehkan. Sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Indonesia seharusnya terus berkembang pesat, terutama yang terkait dengan proses pembelajaran. Atas dasar itu, para siswa dan tenaga pengajar mata pelajaran bahasa Indonesia harus terus diberikan buku-buku yang mendukung proses pembelajaran dan pemahaman pada mata pelajaran tersebut dan guru pun harus tetap aktif menuntun. Peran para guru cukup berat jika benar-benar mengerjakan “tugas” mereka. Tetapi nyatanya di lapangan masih banyak guru yang “malas”. Jamak guru yang tidak fokus terhadap tugas mereka dalam mengajarkan bahasa Indonesia itu. Jamak guru yang lebih mementingkan pendidikan “lanjut” nya sehingga siswa-siswanya ikut menggarap tugas-tugas ataupun penelitian-penelitian sang guru. Masuk akal memang, karena tuntutan dari dunia pendidikan membuat aturan demikian. Tidak salah memang jika diterapkan pada dosis yang sesuai, tapi penulis pikir hal ini sangat salah. Ini merupakan masalah yang cukup berkembang akhir-akhir ini. Jika terjadi hal-hal seperti ini terus proses pembelajaran pasti akan sangat terganggu. Jika sang guru “meminta bantuan” pada siswanya dengan dalih untuk nilai tugas akhir atau tugas tengah semester, mengapa para siswa membatin, mencak-mencak. Tugas ini tidak benar. Harusnya siswa bisa menikmati tugas yang diberikan berapa pun kadar kesulitannya jika memang tugas itu mencerminkan apa yang sedang siswa pelajari. Bagi para guru maupun calon guru kelak agar memperhatikan jeritan-jeritan hati siswa. Ketidaknyamanan siswa dalam belajar akan sangat menghambat pelajaran menerobos dinding-dinding otak siswa. Jawabannya, bagaimana cara guru membuat suasana belajar siswa menjadi nyaman. Tidak zaman seorang guru pura-pura galak. Jangan menjadi guru yang ditakuti siswa, tetapi jadilah guru yang disegani siswa. Kembali kepada rendahnya minat kepada bahasa Indonesia yang sebenarnya sudah diajarkan kepada siswa dari jenjang kelas 1. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 dijelaskan tentang bagaimana kita harus mengutamakan jati diri dengan menggunakan bahasa Indonesia. Di Indonesia kita melihat kurang ada kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia, terutama di kalangan cendekiawan. Dalam pidato para pejabat, termasuk Presiden SBY, sering kali digunakan bahasa Inggris. Kita juga gemar mengambil alih kata bahasa Inggris dan menjadikannya kata dalam bahasa Indone- sia. Mungkin karena malas atau karena gemar (sok berbahasa Inggris). Padahal, ada kata padanan untuk kata-kata yang diserap itu. Contohnya kata arogan, disparitas, kondusif, klir. Padahal, arrogant tak lain tak bukan ’sombong’; disparity itu ’perbedaan’; conducive for ’mendukung untuk’; clear ’jernih’ atau ’jelas’. Masih banyak lagi kata-kata Inggris yang sering digunakan oleh para cendekiawan kita dalam kegiatan sehari-hari. Kita berharap pers ikut di dalam kegiatan mengurangi penggunaan kata-kata Inggris dalam percakapan sehari-hari. Untuk hal-hal seperti di atas berterimakasihlah pada pers. Pers atau media massa berperan besar memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak siswa meremehkan pelajaran bahasa Indonesia. Buat mereka, mata pelajaran bahasa Indonesia tak terlalu penting. Asal kita mampu bicara bahasa Indonesia, sudah cukup. Lebih miris lagi jika melihat kenyataan bahwa jurusan kita di Undiksha ini menjadi jurusan “buangan”. Bisa dibuktikan, berapa siswa jurusan kita yang memang menempatkan bahasa Indonesia pada pilihan pertama mereka saat test masuk, baik SMNPTN maupun PMJL. Mereka “lari” ke Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra tercinta ini agar bisa saja kuliah di sini. Tapi jika memang bersungguh-sungguh hal itu tidak masalah. Terpenting ada kesungguhan dari guru atau dosen dan siswa atau mahasiswa dalam menyikapi ini. Anggap saja sudah terlanjur basah. Tidak ada yang bisa menebak nasib orang kan? Hidup memang sebuah pilihan. Bagaimana dengan kenyataan masyarakat atau kalangan pendidik dan terdidik itu? Dalam kenyataan, kemampuan mereka berbahasa Indonesia kurang baik, padahal kemampuan itu amat dibutuhkan untuk bisa maju, baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa. Butir ketiga Sumpah Pemuda yang pernah kita anggap sebagai salah satu kebanggaan bangsa mulai meredup. Kita perlu tumbuhkan kembali kebanggaan itu.

Selasa, 13 September 2011

JALAN RUSAK JANGAN DIBIARKAN TERUS RUSAK

Kecelakaan di jalan raya kerap terjadi akhir-akhir ini, baik di kota besar maupun di desa. Kecelakaan di jalan raya tidak hanya disebabkan oleh kurangnya kedisiplinan pengendara, tetapi juga faktor infrastruktur jalan yang rusak. Jalan-jalan rusak ini bahkan menjadi momok tersendiri bagi para pengendara. Kecelakaan tidak jarang terjadi di ruas jalan yang bergelombang atau pun berlubang. Infrastruktur jalan yang rusak ini tidak hanya terdapat di desa, di kota pun ada, sehingga kecelakaan di jalan raya ada di mana-mana. Masalahnya sekarang adalah jalan-jalan yang rusak ini tidak segera mendapat penanganan serius dari pihak terkait. Belbagai alasan pun mereka munculkan, salah satu yang paling sering adalah karena tidak ada anggaran untuk perbaikan jalan itu. Benar tidaknya itu urusan lain. Masyarakat hanya ingin jalan rusak itu hendaknya segera diperbaiki, karena telah melunasi segala kewajibannya, mereka hendak mendapatkan haknya yaitu ruas-ruas jalan yang bagus. Masyarakat dan saya khususnya memang sering mengeluhkan jalan rusak ini. Maklum saja, saya tinggal di kota yang memang memiliki jalan rusak cukup banyak dan belum terjamah perbaikan. Ketika melewati jalan-jalan rusak, tekanan batin pun melanda pengendara. Mereka dihantui kecelakaan yang bisa menimpa setiap saat, cepat rusaknya kendaraan mereka, dan yang pasti sakit pinggang yang akan terjadi sesampai di tempat tujuan. Jadi, apa untungnya “memelihara” jalan rusak? Mungkin perbaikan jalan rusak ini hanya menjadi “janji di saat kampanye” saja. Yah…namanya juga janji. Kerusakan jalan terjadi di banyak titik. Perbaikan jalan juga terjadi di banyak titik. Setelah diperbaiki, menelan korban juga. Saya pribadi belum puas dengan perbaikan jalan itu. Perbaikan jalan yang terjadi belakangan ini terkesan dilakukan seadanya. Intinya sama saja, jalan tidak menjadi baik setelah diperbaiki. Mengutip kalimat Jeab Couteau, pemikir kebudayaan asal Perancis dalan sebuah kritiknya yang dimuat dalam harian nasional, beliau mengatakan begini. Kenapa para wisatawan tetap suka berlibur ke Bali? Bukankah jalannya macet, budaya tradisionalnya kian sulit diakses, dan harga-harga terbilang lebih mahal dibandingkan dengan Thailand atau Sri Langka. Dan jika boleh saja menambahkan kalimat beliau dengan, bukannya jalan-jalan di Bali membuat wisatawan sakit pinggang? Tapi toh mereka tetap berkunjung ke Bali. Untunglah. Jika para wisatawan mengeluh seperti saya, dan kapok menderita sakit pinggang akut seperti kebanyakan warga Bali, bagaimana nasib Bali ke depan? Di lain sisi, tidak ada tindakan nyata mengenai keseriusan memperbaiki jalan-jalan rusak ini. Jadi, jangan salahkan masyarakat ketika mereka menanam pohon pisang dan menjadikan kolam pancing jalan-jalan berlubang (rusak parah) di daerah mereka. Itu ejekan secara halus sebenarnya.

Kamis, 08 September 2011

BALI TANPA CITA RASA BALI

Bali dikagumi karena seni budayanya. Para wisatawan baik mancanegara dan domestik datang ke Bali karena ingin menikmati seni budaya Bali yang hingga hari ini masih lestari. Tengok saja sajian-sajian produk seni dan budaya Bali pada ajang PKB. Sungguh kaya Bali ini sebenarnya. Pertanyaannya sekarang, masihkah kita, secara keseluruhan, punya rasa tanggung jawab terhadap seni budaya Bali? Ketika kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa salah satu dari produk seni budaya Bali kini terlupakan, hendaknya krama Bali sebagai pemilik, resah. Hendaknya kita mulai berpikir, berdiskusi, dan menemukan pemecahannya. Seperti yang sudah kita tahu, ornamen arsitektur Bali kini dianak tirikan. Bangunan-bangunan yang memagari jalan-jalan kini jamak berarsitektur modern. Tidak ada bercita rasa Bali. Padahal para wisatawan ke Bali ingin melihat itu. Mereka ingin memalingkan pandangan sejenak pada gedung-gedung bertingkat dan segala model arsitektur bergaya modern di tempat tinggal mereka. Mereka punya bangunan yang lebih canggih kok. Jadi untuk apa bangunan modern seperti itu dibangun di Bali?
ilustrasi :)
Saya tidak berpandangan sempit tentang istilah modern. Boleh saja kita memodernkan segala aspek yang ada di Bali, agar kita tidak jauh tertinggal oleh perkembangan zaman. Tapi, pertu diingat bahwa jangan sampai melupakan akar kita sebagai krama Bali yang hendaknya melestarikan dan bertanggung jawab mempertahankan ornament arsitektur Bali sebagai salah satu hasil kebudayaan nenek moyang kita. Jangan sampai kita baru mencak-mencak setelah produk kebudayaan kita diakui bangsa lain. Lihat Jepang, yang bisa tetap tampil modis (modern) dengan budaya nenek moyangnya. Lakukanlah alkurturasi jika memang ingin mengikuti budaya modern itu. Ornament Bali tidak kuno kok! Padahal lebih seni dan indah ukiran-ukiran Bali daripada gundukan-gundukan beton pada konstruksi modern itu. Mari ciptakan Bali yang memang benar-benar bercita rasa Bali tapi tetap terbuka dengan budaya modern. Perlu perhatian lebih serta dukungan dari semua lapisan untuk mewujudkan Bali yang benar-benar Bali. Perlu kiranya, pemerintah memagari dengan ketat tentang arsitektur Bali ini, agar tetap lestari. Jangan jadikan Bali ini Bali palsu.

Minggu, 04 September 2011

Ibarat Simalakama

Bali bagai gula yang selalu bisa menarik jutaan semut untuk mendekat. Begitulah kondisi Bali di jaman sekarang. Karenanya, Bali begitu sesak oleh penduduk baik local maupun pendatang. Sebagai masalah dalam hal ini adalah penduduk pendatang. Sampai saat ini belum ada pembatasan keluar masuk penduduk pendatang ini. Memang penduduk pendatang ini banyak menghasilkan pemasukan untuk Bali, tapi perlu dicermati juga kerugian yang dihasilkannya. Kepadatan penduduk yang terjadi di Denpasar adalah salah satu kerugian yang dinikmati Bali. Denpasar sebagai kota Provinsi Bali memang menjadi tempat utama untuk mengadu nasib. Akibatnya, penduduk di sana membludak. Kemacetan kini mengancam keseharian lalu lintas di Denpasar. Tempat-tempat kumuh menghantui disetiap sudut kota. Sawah-sawah terancam jadi rumah. Saya takut, area suci pun akan tergerus menjadi tempat penduduk. Ironis jika kejadian nyata sampai seperti itu. Saya harap pihak terkait kini mulai memerhatikan kondisi di lapangan. Jangan sampai para tamiu itu mengacaukan keharmonisan masyarakat Bali. Sekali lagi, sangan sampai kawasan suci menjadi kawasan pemukiman. Mungkin terdengar ekstrem tapi kita wajib waspada akan hal ini. Harapan saya, ada sebuah aturan yang jelas mengenai penduduk pendatang. Jangan sampai penduduk lokal tergerus oleh penduduk pendatang. Jangan sampai malah penduduk lokal yang menjadi tamiu di Bali akibat banyaknya penduduk pendatang melebihi penduduk lokal. Lihatlah Denpasar yang memiliki lahan permukiman kumuh seluas 1,3 hektar. Jangan sampai Bali menjadi lahan kumuh dengan bertambahnya penduduk pendatang itu. Jangan sampai masyarakat Tenganan yang terkenal dengan budaya asli Balinya ikut terkontaminasi penduduk pendatang di masa mendatang. Jangan sampai Bedugul yang asri penuh dengan pemukiman di masa mendatang. Itu bisa saja terjadi jika pemerintah tidak cepat tanggap akan masalah ini. Ini bukan hanya pekerjaan rumah untuk pemerintah pusat yang secara administrasi menangani kependudukan ini, tapi juga masing-masing adat agar mulai membatasi toleransi secara adat kepada pendatang itu. Semoga dimasa mendatang Bali tetap ajeg dan menjaga konsep Tri Mandala dalam kehidupan sehari-hari.

Jumat, 02 September 2011

MEMBANGUN KARAKTER LEWAT SASTRA

Zen Hae seorang kritikus sastra dalam sebuah esainya sempat menulis begini “Di tengah masyarakat yang gampang lupa kita membutuhkan novel pengingat. Di tengah masyarakat yang putus asa kita membutuhkan novel yang memberi harapan. Di tengah bangsa yang yang kehilangan martabat kita merindukan novel yang mengobarkan nasionalisme.” Singkatnya itulah harapan-harapan yang kita bebankan kepada novel, karya seni pada umumnya, ketika bidang-bidang lain menghianati kita terus-menerus. Ketika kisruh PSSI mengemuka, harapan diemban oleh novel ketujuh Andrea Hirata yang berjudul 11 Patriot. Ketika kita lupa dengan seni, kebudayaan, dan kearifan lokal Bali pada umumnya, saya pikir novel Ayu Manda karya I Made Iwan Darmawan adalah jawabannya. Pendeskripsian detail seni budaya Bali menantang imajinasi pembaca untuk terlibat secara terus menerus dalam realita kehidupan para tokoh serta konflik-konflik yang menyertainya. Ketika kerusakan moral begitu parah terjadi akhir-akhir ini di negara ini, pendidikan karakter adalah harga mati. Pendidikan karakter bisa ditemukan pada karya-karya sastra seperti novel-novel itu. Novel atau puisi atau karya sastra yang lain menyimpan amanat yang sangat bisa membangun karakter pembacanya. Apalagi kerusakan moral bangsa sudah dalam tahap sangat mencemaskan terjadi di hampir semua lini, baik di birokrasi pemerintah, aparat penegak hukum, dunia pendidikan, maupun masyarakat umum. Semua yang tersebut di atas tidak ada yang bersih dari kasus korupsi. Hingga tersebutlah korupsi adalah karakter bangsa ini. Di kalangan birokrasi sudah termasyur kebobrokannya. Di institusi penegak hukum sedang ngetren terkena sangsi. Mereka yang semula diharapkan bisa memperbaiki keadaan ternyata memiliki kondisi yang lebih parah. Di dunia pendidikan sudah merupakan rahasia umum yang disebabkan oknum-oknum tak bertanggung jawab bertopeng pendidik. Buruknya negara adalah cermin masyarakat. negara yang korup hingga mendapat julukan “Kleptokrasi” adalah cermin mentalitas masyarakat kita. Tidak bisa disalahkan karena kita memang dididik menjadi demikian. Apa yang terjadi pada kasus di Gandel adalah contoh memalukan, terlepas dari terbukti tidaknya menyontek massal itu. Jika pun missal tidak terbukti kasus menyontek itu di Gandel, saya berani bertaruh, kasus serupa juga terjadi di tempat lain yang beruntung tidak terekspos media. Ini adalah rahasia umum. Tidak perlu diperdebatkan lagi! Kasus Gandel baru-baru ini merupakan contoh nyata potret buram masyarakat kita. Alif, seorang siswa SD Negeri Gadel II, Surabaya, Jawa Timur mengadukan kepada orang tuanya mengenai perintah gurunya menyebar contekan pada teman-temannya saat ujian nasional. Orang tua Alif, Ibu Siami lalu melaporkan kejadian itu kepada wali kota Surabaya. Jabatan kepala sekolah kemudian dicopot. Dua guru diberikan sangsi turun pangkat. Ironisnya adalah warga desa sekitar sekolah justru mengusir Siami dan keluarga. Akhirnya keluarga terpaksa mengungsi ke Gresik, walaupun hari ini mereka sudah kembali ke rumahnya di Gandel. Mentalitas Indonesia tidak kondusif untuk mencapai kemajuan. Seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, mentalitas itu meliputi, meremehkan mutu, suka meerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak berdisiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Hilir (negara) adalah refleksi hulu (masyarakat). Buruk negara adalah cermin masyarakat. Negara korup adalah buah masyarakat yang menghalalkan korupsi. Korupsi ini pun telah berkembang dari segi praktik dan makna kata. Budaya korup terjadi karena lemahnya karakter masyarakat. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Salah satunya korupsi itu. Tidak mungkin orang yang tidak berpendidikan korup. Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh dalam sebuah kesempatan mengatakan pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Bahkan, bisa dikatakan, dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter. Yang ada malah, melahirkan alumni-alumni “teroris”. Yang perlu diketahu sekarang apa itu pendidikan karakter? Dengan apa aplikasinya dalam pembelajaran? Pendidikan karakter senantiasa ada pada zamannya. Namanya berganti-ganti, mulai dari Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan pada zaman Orde Lama. Hingga menjadi PMP serta PPKn pada masa Orde Baru. Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasinya adalah sama yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke-18. Pencetusnya FW Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai "siapa Anda dalam kegelapan?". Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Lalu masihkah relevan ujian nasional yang hanya menilai dari aspek kognitif siswanya saja? Silahkan berdebat. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas. Dalam penerapannya, sastra harus ditempatkan sebagai “kitab suci”. Novel dan puisi bisa digunakan sebagai modul dalam pembelajarannya. Sehingga karakter bangsa kita bukanlah berkarakter teroris tetapi berkarakter Pancasilais.