Kamis, 12 Mei 2011

ADU KEPENTINGAN


Bali sebagai salah satu tempat pariwisata dunia memang bernadi pada pariwisata. Semua aspek pariwisata yang ada di Bali berlomba-lomba memberi pelayanan terbaik. Fasilitas penunjang pariwisata menjamur dan sudah menjadi penghidupan bukan saja masyarakat Bali, bahkan masyarakat pendatang yang mencari penghidupan di Bali. Persaingan pun mulai terjadi.
Demi kepentingan masing-masing pihak, terkadang cara-cara illegal menjadi halal bagi mereka. Maraknya pemberitaan fasilitas-fasilitas pariwisata bodong di Bali adalah kenyataan yang sudah ada di depan mata. Mengapa mereka berani beroperasi tanpa izin, yang jelas-jelas melanggar hukum? Kepentingan adalah jawabannya.
Masyarakat Bali ataupun para investor yang menanam modal di Bali hanya melihat pariwisata sebagai tambang emas mereka. Di sisi lain, fasilitas pariwisata sudah banyak dan akan bertambah banyak seiring waktu. Untuk ikut bersaing di dalamnya, jamak dari mereka mengambil jalan bodong. Itu pilihan.
Yang perlu disoroti sekarang adalah, mengapa praktik bodong seperti ini bisa terus berjalan mulus? Padahal Pemprov Bali maupun kabupaten/kota di Bali sebenarnya memiliki kekuatan hukum untuk menertibkan fasilitas-fasilitas bodong tersebut. Saya curiga ada suap menyuap yang melibatkan orang kuat demi lancarnya fasilitas-fasilitas tanpa ijin ini. Jika sudah begini, saya rasa susah. Karena lagi-lagi kepentingan yang akan berbicara.
Apa pun kepentingannya, jika kondisi penunjang pariwisata di Bali seperti itu (banyak bodong), takutnya akan berpengaruh pada citra pariwisata Bali. Dan akhirnya, kita semua yang akan menanggung akibatnya. Mari kita kesampingkan kepentingan pribadi. Utamakan kepentingan bersama (pariwisata Bali).

teror UN

Menjadi salah saat ujian nasional (UN) digunakan sebagai vonis kelulusan siswa. Ujian tertulis yang dilangsungkan hanya beberapa hari sangat tidak relevan untuk memutuskan kelulusan siswa yang sudah mengenyam pendidikan bertahun-tahun. Hanya menggunaka kognitif untuk menentukan kelulusan adalah hal yang absurd. Lalu dikemanakan aspek lain, afektif dan psikomotornya? Mencontek dikaitkan dengan kejujuran. Memang benar mencontek adalah perbuatan salah. Tapi ketika dikaitkan dengan ujian nasional, mencontek adalah perbuatan yang halal. Jangan salahkan pandangan ini, karena sistem pendidikanlah yang mengkehendakinya. Sistem pendidikan yang hanya menjadi terror bagi pelaku pendidikan ini belumlah seperti yang diharapkan banyak pihak. Mengapa teror? Karena setiap mendekati ujian nasional semua pihak, baik guru, siswa, orang tua siswa bahkan para pejabat, yang sebaiknya tidak ikut campur menjadi gundah gulana. Mereka berpikir keras agar bisa melewati teror ini. Benar tidaknya, bisa diperdebatkan. Ujian nasional (UN) sudah menjadi target terpenting dari pendidikan. Kecemasan kolektif pun terjadi tiap tahun. Guru, kepala sekolah, siswa, orang tua siswa, dinas pendidikan takut akan hasil jeblok ujian nasional. Semua menjadi tegang. Mereka memikirkan segala cara agar ujian nasional menjadi sukses. Tapi sayang cara yang ditempuh jamak yang haram. Tapi akan menjadi halal saat ujian nasional berlangsung. Bagi sekolah, kelulusan adalah pencitraan sekolah. Hal ini akan berdampak pada peminat yang melamar sekolah itu di tahun berikutnya. Sekolah sangat berkepentingan dengan jumlah siswa. Makin tinggi jumlah siswa, makin sejahtera sekolah itu dan tentu saja guru-gurunya. Tidak jarang dalam perekrutan siswa ini dicampuri oleh nepotisme gila-gilaan yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Akhirnya, suap-menyuap pun mewarnai. Kembali kepada kelulusan. Kelulusan adalah prestasi yang dilahirkan sekolah itu, setidaknya itulah yang ada di benak orang tua siswa. Makanya sekolah akan mati-matian membuat prestasi kelulusan 100%. Bagi siswa dan tentunya orang tua siswa adalah sebuah keberhasilan bisa lulus. Tidak lulus akan menimbulkan dua hal yang sangat merugikan. Tidak lulus sama dengan mengulang, jika hal ini terjadi tentu akan menambah biaya pendidikan. Tidak lulus juga berarti siap menanggung malu. Inilah yang sangat dihindari, sehingga lulus adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Bagi para pejabat di lingkungan dinas pendidikan setempat, kelulusan berarti naik jabatan. Kelulusan juga berarti bahwa mereka sudah bekerja dengan benar. dalam situasi seperti itu maka mereka sekuat tenaga akan menggenjot prestasi siswa. Sayangnya, cara yang digunakan salah. Tidak salah sih, tapi sistem pendidikan yang kadung salah. Ketidakjujuran menjadi pembenaran dalam hal ini. Dan dalam kasus Siami, ia adalah penggugat sistem pendidikan kita.