Rahangnya
yang kaku dan keras bergerak naik turun saat mengunyah gulai ayam
masakan Ibu. Rambut ikalnya mengkilat oleh minyak rambut dan rapi
disisir kebelakang, dia Ayahku . Ibu dengan rambut panjang yang digulung
membentuk sanggul, terlihat santai dan sesekali melerai kedua kakak
perempuanku yang sedang bersitegang tentang gulai ayam. Kakak
perempuanku kembar indentik, tak jarang kami salah menyebut namanya.
Mereka bisa mempermasalahkan hal yang menurut kami sederhana, semisal
telur mata sapi. Mereka akan protes kalau menemukan kuning telurnya
berada di pinggir bukan di tengah!. Mereka tak akan memakannya. Mau tak
mau Ibu harus mengulang beberapa kali, sampai kuning telurnya berada di
tengah. Aku sendiri adalah si bungsu. Aku punya garis wajah yang tegas,
aku punya rambut ikal, aku punya mata setajam elang, seperti punya ayah.
Aku sangat mirip dengan Ayah.
Hari
itu ulang tahunku yang ke tujuh. Aku mendapat keistimewaan menjadi yang
pertama mencicipi gulai ayam, mengambil bagian yang paling aku suka.
Doa dan harapan terbaik dipanjatkan untukku, tak lupa dengan hadiahnya.
Beberapa kali aku mendapati kedua kakak perempuanku melirik sambil tersenyum aneh. Aku hanya bisa memandang sinis ke arah mereka. Sepertinya mereka merencanakan sesuatu. Mereka
sedikit jahil. Mereka pernah memasukkan kodok ke dalam tas sekolahku.
Aku ingat sekali itu, aku melompat ke atas meja dan melempar tasku jauh.
-
Meja
makan sudah rapi, kedua kakak perempuanku sudah mengangkat piring –
piring kotor ke dapur. Tinggal aku dan Ibu yang masih duduk sambil
bercerita tentang hari ulang tahunnya yang tak pernah ada perayaan,
bahkan makanan enak. ‘Bersyukur
atas apa yang kita miliki sekarang, berjuang untuk esok yang lebih baik
lagi. Itu yang terutama’ pesan Ibu sambil meraih tanganku memakaikan
sebuah jam tangan yang bisa bersinar ditempat yang gelap. ‘Selamat
ulangtahun Nak’ bisik Ibu di telingaku saat tubuhku dalam dekapan
hangatnya.
Kedua kakak perempuanku, bersamaan memberikan sebuah buku bergambar pesawat terbang, “Selamat ulang tahun!”.
Aku
punya cita – cita menjadi pilot. Aku ingin terbang mengelilingi
Indonesia. Aku ingin menjadi pilot yang membawa Ayah, Ibu, dan kedua
Kakak perempuanku menikmati indahnya pantai Kuta, dan tempat wisata
lainnya yang tanah airku punya.
Maka
dari itu, aku berharap hadiah dari Ayah adalah sebuah miniatur pesawat.
Aku sudah mengutarakannya beberapa hari yang lalu. Aku ingin hadiah
sebuah miniatur pesawat. Tapi aku tak melihat Ayah selepas makan siang,
aku tak melihat tanda – tanda Ayah akan memberikan hadiah, bahkan ucapan
selamat ulang tahun pun belum aku dengar darinya.
-
Aku
tertidur menunggu sebuah miniatur pesawat, dan terbangun mendengar
pintu kamarku diketuk. Kudapati Ayah berdiri memegang sebuah bibit pohon -
entah pohon apa aku tidak tahu – pada polybag hitam. ‘Selamat ulang
tahun Nak’ katanya sambil menyerahkan bibit pohon itu. Tidak ada
miniatur pesawat!. Hadiah ulangtahunku hanyalah bibit pohon!.
Kuletakkan
bibit pohon itu di sudut kamarku, persis di samping meja belajarku.
Sudah seminggu sejak hari ulang tahunku, aku membiarkan bibit pohon itu
begitu saja. Beberapa helai daunnya sudah mulai menguning, gugur, dan
batangnya yang masih kurus itu mengerut kekurangan air. Aku
membiarkannya begitu saja, sampai Ayah memberi penjelasan itu bibit
pohon apa? Kenapa bibit pohon? Kenapa tidak miniatur pesawat seperti
yang aku minta!.
Sepertinya
tidak akan ada penjelasan tentang bibit pohon itu. Dan aku pun tak
sampai hati membiarkan pohon itu mati kekeringan, kusingkirkan egoku,
aku menghampiri ayah di suatu sore yang berangin, meminta bantuannya menanam bibit pohon itu di halaman rumah.
-
Pagi sebelum ke
sekolah aku menyiramnya dan sore setelah matahari terbenam, begitu
seterusnya. Belakangan aku tahu itu adalah pohon mangga, setelah kusobek
daunnya dan kudekatkan pada hidungku.
Seiring berjalannya
waktu, aku menyadari aku sangat menyayangi pohon mangga itu, aku sering
duduk berdampingan dengannya setelah aku menyiramnya. Kadang aku
bercerita tentang Ayah, Ibu, dan Kakakku si kembar. Beberapa kali juga
aku mendapati tanahnya sudah bertabur kotoran ayam saat aku lupa
memberikan pupuk.
Tahun kelima, pohon manggaku berbuah. Hanya ada sepuluh buah, masa berbuah yang akan datang buahnya pasti lebih
dari itu kata Ayah. Kami menikmati buahnya selepas makan siang. Ada
rasa bangga dan malu memakannya. Mengingat aku sangat kecewa dan
menelantarkannya hampir seminggu lebih.
Tahun kesepuluh. Masa musim buah, kami memanen hampir lima karung buah mangga. Aku membagikannya kepada semua tetangga dan
teman sekolahku. ‘Pohon manggaku berbuah’ begitu kataku saat
membagikannya. Selebihnya Ayah menawarkan seorang petani upahan yang
menempati rumah berdinding anyaman bambu untuk menjualnya di pasar.
‘Masih ada masa panen berikutnya’ begitu kata Ayah saat aku menanyakan
uang hasil penjualan buah manggaku. Petani itu menitikkan airmata saat
Ayah memberikan semua hasil penjualan buah manggaku kepadanya. Buah
manggaku terjual habis.
-
Tahun
ke lima belas. Pohon mangga itu telah membuatku jatuh cinta dengan
kehijauan dan kesegaran yang dibagikannya. Aku ingin mempelajari mereka
dan melestarikannya.
Sebuah foto
diambil bersama Ayah, Ibu, dan Kakakku si Kembar dengan latar pohon
manggaku. Hari itu aku dan Ayah bersandar pada batang pohon manggaku,
menghabiskan sore dengan cerita tentang perjuanganku menyelesaikan
skripsi hingga aku menyandang gelar S.Hut.
-
Baru dua hari aku berada di perantauan, aku harus segera pulang.
Secepatnya!.
Ibu tersenyum menyambutku. Tangannya yang sudah keriput membimbingku
pada tubuh yang terbujur kaku pada dipan kayu. Ayah terkena serangan
jantung, dan meninggal tak lama setelah mendapatkan perawatan dari
medis.
Aku duduk menyandarkan punggung pada pohon manggaku. Empat puluh hari sudah sejak kepergian Ayah, semua kenangan melintas saat bersama Ayah tanpa kupinta. Aku sangat merindukannya. Kedua kakak perempuanku datang dan duduk diam bersama dalam kerinduan.
Pohon mangga itu,
hadiah terindah dan terbaik dari Ayah. Pohon itu satu bentuk yang akan
hidup untuk puluhan tahun kedepan, yang akan selalu mengingatkanku pada
Ayah dan juga sebagai warisan yang hidup untuk cucunya.
-
Tahun ke- 32
Aku merasakan pundakku
diusap pelan oleh wanita hebat yang telah melahirkan jagoan kecilku.
Pandangan kami terpaku pada tubuh kecil yang tertidur nyenyak dalam
pelukan Neneknya. Dua buah kursi panjang di bawah pohon mangga itu jadi
tempat terbaik untuk bersantai.
-
Sekarang jagoan
kecilku punya tugas setiap pagi dan sore hari, menyiram pohon akasia
yang berada di sudut taman rumah. Pohon akasia itu sekarang
berumur tujuh tahun, seumur dengan jagoan kecilku. Dia kelihatan bangga
sekali dengan pohon itu, terlebih saat kuceritakan kisah pohon mangga
yang sampai sekarang masih berdiri kokoh di depan rumah neneknya. Pernah
dia dengan sangat bangga memperkenalkan pohon itu kepada teman
sekelasnya.
“Ini pohonku, mana pohonmu?”